Saturday 25 April 2015

Perekonomian Indonesia (Perkembangan Sektor Pertanian dan Sektor Industri Indonesia)


BAB I
PENDAHULUAN

Sasaran utama pembangunan jangka panjang negara ini adalah pencapaian struktur ekonomi yang seimbang yaitu terdapatnya kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kemampuan dan kekuatan pertanian yang tangguh. Hal ini berarti bahwa antara sektor pertanian (dan kehutanan) dan sektor industri diperlukan adanya keterkaitan yang kuat baik keterkaitan kedepan maupun keterkaitan ke belakang dalam mencapai tujuan masing-masing sektor tersebut. Adanya keterkaitan ini terlihat dengan adanya perkembangan pengolahan hasil pertanian dan industri agro (agroindustry). Agroindustri adalah suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian) untuk industri.
Transformasi struktural perekonomian Indonesia menuju ke corak yang industrial tidak dengan sendirinya melenyapkan nuansa agraritasnya. Berbagai teori pertumbuhan ekonomi klasik dan studi empiris Bank Dunia menunjukkan, bahwa sukses pengembangan sektor industri di suatu negara selalu diiringi dengan perbaikan produktivitas dan pertumbuhan berkelanjutan di sektor pertanian. Selain menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk serta menyerap tenaga kerja, sektor pertanian juga merupakan pemasok bahan baku bagi sektor industri dan menjadi sumber penghasil devisa.
Di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Pada tahap pertama pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi pertanian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang sektor pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal.

BAB II
ISI

Pencapain struktur ekonomi yang seimbang dapat dilakukan dengan menyeimbangkan 2 sektor yaitu :
1. Sektor Pertanian

Jiwa (sumber hidup) Indonesia terletak pada lahan pertaniannya. Rakyat Indonesia telah bercocok tanam diatasnya selama berabad-abad. Masyarakat petani bukan hanya telah menyediakan makanan bagi bangsa Indonesia dan produk pertanian untuk di ekspor, namun juga pemelihara adat istiadat dan tradisi bangsa. Yang terpenting adalah, usaha pertanian di Indonesia memasok beras untuk makanan rakyat. Beras adalah makanan pokok negara sejak zaman dahulu kala. Dalam sejarah Indonesia, ada banyak periode dengan hasil panen yang rendah. Pada masa itu, bencana kelaparan merebak dan masyarakat secara keseluruhan sangat terpukul.

Selama bertahun-tahun, semua kebijakan pembangunan pertanian Indonesia diimplementasikan untuk mencapai swasembada beras. Meski diperlukan waktu 15 tahun untuk mencapainya, dalam prosesnya tim ekonomi belajar banyak tentang fleksibilitas dalam penerapana ilmu ekonomi klasik. Kadang-kadang diperlukan inovasi meski hanya untuk sementara waktu. Misalnya, pemerintah menciptakan Bulog, sebuah lembanga yang dirancang untuk meredam gejolak pasokan dan harga beras. Meski berlawanan dengan pasar bebas yang ortodoks, intervensi Bulog membantu mengamankan pasokan pangan negara dan memelihara stabilitas politik. Negara juga melaksanakan program investasi besar-besaran untuk prasarana. Dengan melakukan itu, pasokan input pertanian bisa mencapai desa-desa, dan produk pertanian dengan mudah mencapai pasar-pasarnya. Kebijakan-kebijakan ini menolong pencapaian dua tujuan: pencukupan kebutuhan pangan masyarakat dan pencegahan urbanisasi besar-besaran dengan menyediakan lapangan kerja di desa-desa.

            Dengan pendekatan pembangunan pertanian, Indonesia tidak hanya berkonsentrasi pada satu segi saja. Pemerintah melancarkan serangkaian kebijakan yang saling terkait termasuk inovasi teknologi, perbaikan prasarana, pembangunan sistem logistic secara nasional, dan taktik ekonomi yang paling mendasar, monetisasi sector perdesaan.

·         Catatan tentang geografi dan sejarah pertanian Indonesia 
Indonesia membentang di garis khatulistiwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan suhu rata-rata 26-27 derajat Celcius, iklim Indonesia hangat namun tak terlalu menyengat karena ada angin laut yang sejuk. Sebagian besar curah hujan jatuh pada musim penghujan dari oktober sampai april terutama pada bulan desember dan januari. Musim kemarau berlangsung dari bulan april sampai September.  Indonesia berada di sepanjang “Cincin Api”, daerah gunung berapi di samudera pasifik tempat bercokolnya sebagian besar gunung berapi yang aktif di dunia. Aktivitas gunung berapi membawa kesuburan tanah di banyak pulau di Indonesia, terutama pulau jawa dan bali.

Hal ini membuat petani didaerah ini bisa bercocok tanama dengan hanya sedikitpupuk atau tanpa pupuk sama sekali. Kesuburan tanah dan curah hujan tidaklah tersebar secara merata. Beberapa bagian dari negara ini, terutama didaerah timur, relatif kering dan tanahnya gersang. Didaerah penanaman padi (Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi selatan) para petani secara tradisional memetik hasil panen padi 2 kali setahun. Dengan adanya kemajuan teknologi pertanian, dibanyak daerah, jumlah panen bisa ditingkatkan menjadi 5 kali panen dalam 2 tahun.

Tradisi bisa menjadi penolong dan penghambat bagi petani di Indonesia. Banyak aspek pertanian Indonesia, terutama pertanian padi, yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi turun temurun. Hingga dewasa ini, pertanian Indonesia hanya sedikit terintegrasi ke dalam perekonomian modern dengan perdagangan bervolume besar, berteknologi maju, serta berciri kan produk dan metode pemasaran yang beragam. Pertanian di Indonesia adalah urusan perdesaan, hanya bersifat subsisten dan tidak banyak beranjak dari hal tersebut.

            Tidak banyak orang berimigrasi ke kota-kota atau memilih karir didunia bisnis atau sebagai pegawai negeri. Ciri perdesaan dari populasi Indonesia tetep dominan. Populasi bertumbuh, namun terutama di pulau jawa hampir tak ada lahan baru untuk pengembangan pertanian. Akibatnya, lahan yang ada terbagi-bagi kepada ahli waris keluarga. Luas lahan per usaha tani di Indonesia menjadi salah satu yang tersempit di dunia. Dalam paro ke 2 abad ini, ketika petak lahan tidak bisa dibagi lebih lanjut, muncullah golongan baru pekerja pedesaan, petani tanpa lahan.

            Dua ilmuwan yang telah melakukan studi penting tentang kondisi pertanian di Indonesia sebelum periode orba adalah : Jan Boeke, ekonom belanda, dan Clifford Geertz, antropolog amerika. Boeke berusaha mencari penjelasan dari alasan kegagalan kebijakan colonial belanda di Indonesia. Ia berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar antara tujuan aktivitas ekonomi dalam masyrakat barat dan timur. Orang barat bertindak didorong keperluan ekonomi. Orang timur, seperti Indonesia, bertindak terutama di dorong oleh keperluan social. Oleh karena Orientasi social petani dan rakyat desa di Indonesia, usaha penerapan teknologi dan institusi barat akan sia-sia dan tidak akan menghasilkan perubahan dalam cara penstrukturan pertanian, sehingga tidak menghasilkan modal.

·         Perkembangan Sektor Pertanian

Pertanian dan perkebunan merupakan fundamentasi pokok ekonomi bangsa. Pertanian harus dijadikan sector utama bagi pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Sektor pertanian yang menjadi andalan sebagian besar rakyat tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Demikian juga dalam pencairan kredit terdapat ketidakmerataan untuk sector pertanian.
           
            Sektor pertanian hingga kini masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk. Program pembangunan sector pertanian meliputi program peningkatan produksi di kelima subsektornya, serta peningkatan pendapatan petani, perkebun, peternak dan nelayan. Program pembangunan tersebut ditunjang dengan program pembangunan sarana dan prasarananya seperti pengadaan dan pelancaran factor produksi, pengembangan jaringan irigasi dan jalan, kebijaksanaan tata niaga dan harga, serta penelitian. Dalam era PJP I sector pertanian merupakan prioritas pembangunan ekonomi. Pertumbuhannya rata-rata 3,6% per tahun. Kemajuan paling menonjol sector ini selama PJP I adalah dalam bidang produksi pangan, yakni keberhasilan mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Sebelumnya, bahan makanan pokok ini masih harus selalu diimpor. Bahkan pada tahun-tahun 1970-an Indonesia merupakan Negara pengimpor beras terbesar di dunia. Swasembada beras ini berdampak penting pada meningkatnya kualitas gizi, pendapatan masyarakat, dan stabilitas ekonomi nasional.

Sampai dengan tahun 1990 sektor pertanian masih merupakan penyumbang utama dalam membentuk produk domestic bruto. Namun sesudah itu posisi tersebut diambil alih oleh sector industry pengolahan. Hal ini sesungguhnya memprihatinkan, bukan karena sector pertanian tidak berkembang, melainkan mengingat masih demikian besarnya proporsi tenaga kerja yang masih bekerja di sector tersebut. Sampai dengan tahun 1992 saja tercatat lebih dari sebagian tenaga kerja kita bekerja pada sector ini. Tambahan pula kualitas sumber daya manusia yang bekerja di sector pertanian pada umumnya relative rendah, sehingga produktivitasnya rendah. Pada gilirannya, pendapatan mereka juga rendah. Dalam skala makro rendahnya produktivitas tenaga kerja suatu sector dapat diukur dengan membandingkan proporsi sector itu dalam menyerap tenaga kerja dan dalam menyumbang produksi atau pendapatan nasional. Pada tahun 1992, sector pertanian menyerap 53,69% tenaga kerja, sementara sumbangannya dalam membentuk PDB menurut harga yang berlaku sebesar 19,52%. Hal itu berarti setiap 1% tenaga kerja pertanian Indonesia hanya menyumbang sekitar 0,36% PDB. Sebagai bandingan: sector pertanian di negara- negara maju yang tergabung dalam G-7 hanya menyerap sekitar 2% tenaga kerja dan menyumbang 3% PDB. Dengan kata lain, setiap 1% tenaga kerja pertanian mereka menyumbang 1,5% PDB, atau hampir lima kali lipat produktivitas tenaga kerja pertanian kita.

Di antara lima subsector yang ada di dalam sector pertanian, pemeran terbesar dalam membentuk nilai tambah adalah subsector tanaman pangan (lihat table 12.2). subsector inilah yang menjadi sandaran nafkah utama sebagian besar rakyat kita, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Subsector ini pula yang paling besar mendapatkan perhatian pemerintah. Sayangnya, pertumbuhan sector ini tidak menggembirakan. Selama Pelita I hingga Pelita III tumbuh selaju 4,0 persen rata-rata per tahun. Dalam Pelita IV laju tumbuh rata-rata tersebut menurun menjadi 3,6%. Pertumbuhan sector ini dalam Pelita V dapat dilihat pada table 12.3

Menurunnya peranan sector pertanian di satu sisi dan meningkatnya peranan sector industry di sisi lain, menyiratkan telah terjadinya perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia. Akan tetapi perubahan struktural itu sebenarnya masih belum mantap  karena baru merupakan perubahan dalam struktur pendapatan, belum diiringi dengan perubahan dalam struktur ketenagakerjaan. Akibatnya produktivitas antarsektor masih timpang. Demikian pula halnya dengan pendapatn perkapita antarsektor. Perubahan struktural (yang masih timpang) itu sendiri terjadi karena pembangunan ekonomi kita selama ini terlalu terfokus pada industrialisasi. Padahal kerangka  teori klasik dan hasil-hasil empiris oleh Bank Dunia memunjukkan bahwa keberhasilan industrialisasi selalu seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable) dan perbaikan produktivitas di sector pertanian. Jadi, apabila produktivitas sector pertanian tidak mengalami perbaikkan, maka bukan mustahil keberhasilan industrialisasi dalam pembangunan kita selama ini akan mengalami titik balik. Tanpa dukungan sector pertanian sebagai penyangga yang tangguh kemajuan sector industry akan mudah tersendat.

·         Tabel 12.2 Kontribusi Sektor Pertanian dalam membentuk PDB, 1988-1994 atas dasar harga berlaku (Persen)

Sektor-Subsektor
1998         1989        1990        1991        1992       1993         1994
Sector pertanian
-tanaman pangan
- perkebunan
-kehutanan
-peternakan
Perikanan
Sector-sektor lain
24,12        23,43       21,55       19,66      19,52       17,88       17,44
14,86        14,65      13,25         11,50     11,33        9,73         9,21
3,97          3,71        3,41            3,34        3,36         2,73        2,69
1,02          0,98          0,95          0,89        0,84         1,90         1,97
2,49         2,28          2,23           2,25        2,32          1,88        1,91
1,78          1,81          1,71           1,68        1,67          1,63       1,67
75,88        76,45       80,34         80,48       82,12       82,56
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia, 1994, BPS.

·         Tabel 12.3 Laju Tumbuh Sektor Pertanian dalam membentuk PDB, 1988-1994  atas dasar harga konstan (Persen)
Sektor - Subsektor
1988      1989       1990      1991    1992     1993     1994
Sektor Pertanian
Tanaman pangan
-Perkebunan
-Kehutanan
-Peternakan
-Perikanan
Sektor-sektor lain
4, 90      3,32        2,00       1,60     1,42      0,32      2,89
4,50       3,97        0,52       -0,55    7,73     -1,18    -2,70      1,76
7,82       5,52        6,50        5,94     6,29      5,17     5,17       5,98
4,66      -3,87        2,97        0,02      -2,25   1,65     0,67       0,55
4,78
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia, 1994, BPS.
   
   Perubahan struktur yang timpang tadi mengandung arti bahwa pertumbuhan sector industry selama ini belum memadai bagi penyerapan tenaga kerja. Sector pertanian masih kelebihaan populasi (overpopulated). Sector industry masih belum menyerap kelebihan tenaga kerja di sector pertanian. Banyak pekerja di sector ini menjadi penganggur tak kentara, atau berurbanisasi ke kota mengadu nasib di sector informal. Jadi, meskipun merupakan penyedia pangan bagi segenap rakyat, pemasok bahan baku industry, dan bahkan sebagai pasar bagi hasil-hasil industry, sector pertanian ternyata belum optimal terintegrasi di dalam derap langkah industrialisasi yang menjadi inti strategi pembangunan.

Perkembangan sector pertanian itu sendiri, kasus Indonesia, sangat menarik untuk dikaji. Pola perkembangannya berbeda dengan pengalaman empiris dinegara – negara lain. Perkembangan sector pertanian di negara – negara lain biasanya ditempuh melalui tiga kemungkinan pola atau lajur. Pertama, jalur kapitalistik; yakni melalui pengembangan usahatani – usahatani berskala besar dan melibatkan satuan – satuan yang berskala kecil. Perkembangan sector pertanian di Amerika Utara dan Eropa Barat pada umumnya melalui pola ini. Kedua, jalur sosialistik; yakni melalui pembentukan usahatani kolektif berskala besar yang diprakarsai oleh Negara. Pola semacam ini berlangsung di negara-negara Eropa Timur, sebelum runtuhnya rejim komunis. Ketiga, jalur koperasi semikapitalistik; yakni melalui pembinaan usahatani – usahatani kecil padat modal yang digalang dalam suatu koperasi nasional di bawah pengelolaan Negara. Mirip dengan gagasan neopopulistik, pola ini diterapkan oleh Jepang dan Taiwan. Kendati polanya berbeda, namun kesemuanya selalu diawali dan diiringi dengan reformasi agraris dan penataan penguasaan tanah (land reform).

Perkembangan sector pertanian di Indonesia untuk subsector tanaman pangan puncaknya ditandai dengan keberhasilan mencapai swasembada beras ternyata tanpa didahului dengan reformasi agraris ataupun land reform. Revolusi hijau berlangsung ditengah-tengah fragmentasi tanah dimana luas lahan usahatani dari waktu ke waktu justru semakin menciut. Intensifikasi dapat diterapkan (setidak-tidaknya berhasil dipaksa untuk diterapkan) di kalangan petani-petani kecil yang mayoritas berlahan kurang dari setengah hektar (di Jawa: rata-rata 0,3 hektar).

2. Sektor Industri

Keputusan Indonesia untuk membuat pertanian menjadi landasan perencanaan pembangunan negara memang tidak sejalan dengan kebijaksanaan konvensional. Di tengah penekanan pembangunan pertanian itu tentu saja pemerintah sadar sepenuhnya bahwa Indonesia tidak  bisa terus menerus bergantung pada pertanian untuk menjadi negara modern. Pada akhir decade enam puluhan, ketika pemerintah Orba meluncurkan rencana pembangunan ekonominya, sebagian besar literature dalam bidang ekonomi mengidentikkan pembangunan dengan industrilisasi. Hal ini terlihat lebih nyata lagi misalnya dalam penanaman negara yang sudah mencapai standar hidup yang tinggi bagi penduduknya sebagai negara industry. Meskipun Indonesia telah mengadopsi kebijakan yang mendahulukan pertanian, tim ekonomi negara tetap punya komitmen besar terhadap industrilisasi sebagai sebuah pilar bagi strategi pembangunan ekonomi negara. Mereka juga sadar bahwa program yang keliru untuk mencapai industrilisasi secara terburu-buru bisa menjadi boomerang yang menyebabkan disalokasi ekonomi, investasi terbuang percuma, dan penghamburan kekayaan negara yang langka.

Bukti statistic darai zaman Sukarno terlalu sedikit dan masih kacau sehingga sukar untuk memperkirakan keadaan industrilisasi Indonesia pada masa tersebut. Namun demikian, bukti yang tersedia mengisyaratkan bahwa pada masa permulaan Orba, Indonesia termasuk negara yang paling rendah tingkat industrilisasinya diantara negara-negara sedang berkembang yang besar.

Memandang ke belakang, akhir decade Sembilan puluhan, saat Indonesia mulai menjadi negara industry baru (NIC, Newly Industrialized Country), orang bisa dengan mudah berpikir bahwa kita telah berhasil. Namun, dalam prosesnya, kita kadang-kadang membuat kesalahan yang membawa kepada jalan buntu. Ada banyak pengalaman berharga yang kita peroleh terutama pada tahun-tahun awal. Pengalaman-pengalaman ini bisa disarikan sebagai berikut :
1.      Proteksionisme (baik untuk menopang industry yang baru berkembang maupun untuk keperluan pemerataan bagi kelompok tertinggal) bisa berperan penting dalam pembangunan ekonomi, hanya bila proteksi ini dilaksanakan dengan tujuan yang terdefinisi dengan jelas dan masa penerapannya dibatasi.
2.      Sukses kebijakan industry tak lepas dari terpeliharanya nilai tukar mata uang yang realistis
3.  Strategi ekonomi harus bersifat fleksibel dan realistis, sehingga dapat diubah sesuai dengan perkembangan situasi, dan bila perlu dihentikan kalau sudah kadaluwarsa.

·         Lintasan Sejrah Sektor Industri

 Pada sekitar tahun 1920-an industry-industri modern di Indonesia hampir semuanya dimiliki oleh orang asing meskipun jumlahnya relative sedikit. Industry yang ada pada waktu itu hanya berupa industry-industri rumah tangga seperti penggilingan padi, tekstil dan sebagainya yang tidak terkoordinasi. Perusahaan besar yang modern hanya ada dua buah, itupun milik asing, yaitu pasbrik rokok milik British American Tobacco dan perakitan kendaraan bermotor General Motor Car Assembly. Depresi besar yang melanda sekitar tahun 1930-an telah meruntuhkan perekonomian. Penerimaan ekspor turun dari 1.448 juta Gulden (tahun 1929) menjadi 505 juta Gulden (tahun 1935) sehingga mengakibatkan pengangguran. Situasi tersebut memaksa pemerintah colonial mengubah sistem dan pola kebijaksanaan ekonomi dari menitikberatkan pada sector perkebunan ke sector industry.

            Pada masa perang Dunia II kondisi industrialisasi cukup baik. Namun keadaannya berbalik semasa pendudukan jepang. Hal itu disebabkan adanya larangan impor bahan mentah, diangkutnya barang-barang capital ke jepang dan pemaksaan tenaga kerja sehingga investasi asing pada masa itu praktis nihil. 15 tahun kemudian setelah merdeka, Indonesia menjadi pengimpor besar barang-barang capital dan teknologi, serta mulai memprioritaskan pengembangan sector industry dan menawarkan investasi asing. Berkat kebijaksanaan itu, penanam modal asing mulai berdatangan meskipun masih dalam taraf coba-coba.

·         Karakteristik Industri Indonesia
            Sector industry Indonesia dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu :
1.      Industry rumah tangga
2.      Industry kecil
3.      Industry menengah
4.      Industry besar

            Dua hal yang menjadi corak dari sebagian besar industry Indonesia dalam periode awal delapan puluhan adalah kecil dan berciri pedesaan. Menurut laporan Bank Dunia 1979, industry manufaktur di Indonesia dikerjakan oleh 1,3 juta unit usaha, dan 1,2 juta di antaranya adalah industry rumah tangga, serta 94% berlokasi di pedesaan. Industry rumah tangga terutama terdiri dari kerajinan tangan dan produk pangan, dan dikerjakan oleh wanita secara mandiri ataupun dibantu anggota keluarga atau tetangganya. Pekerjaan ini tanpa upah dan penghasilan penjualan barang-barang digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tak ada kepastian mengenai harga atau jumlah barang yang dijual. Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, pekerjaan ini merupakan sumber penghasilan penting bagi masyarakat perdesan dan produksi yang dihasilkan cukup dihargai oleh koncumen. Beberapa contoh produksi :
1.      Industry rumah tangga : barang-barang kerajinan tangan seperti keranjang anyaman tangan dan makanan ringan seperti kue beras ketan yang dibungkus daun pisang atau daun kelapa
2.    Industry kecil dan menengah : usaha yang memperkerjakan 5 sampai 95 orang untuk memproduksi kain batik
3.      Industry besar : unilever, misalnya pabrik tekstil bermesin.
            Produksi dari industry rumah tangga dan industry kecil, yang sebagian besar berada di daerah pinggiran, bersifat musiman. Selama periode panen dan musim tanam, pekerjaan pada industry-industri kecil dan rumah tangga praktis terhenti. Ada juga kaitan lain dengan pertanian, misalnya, barang-barang yang diproduksi oleh sector industry kecil dan rumah tangga dipasarkan terutama didaerah perdesaan. Lebih jauh lagi, program-program pertanian, fasilitas kredit, dan koperasi yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan perekonomian pertanian juga berperan untuk memajukan sector industry kecil dan rumah tangga.

KEGANJILAN INDUSTRI NASIONAL 
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu aspek menonjol dari hasil-hasil pembangunan ekonomi Indonesia dalam 25 tahun terakhir ini adalah perubahan struktur perekonomian, yang ditandai oleh peningkatan pesat peran sektor-sektor industry manufaktur di satu pihak dan penurunan relatif tajam sektor pertanian di pihak lain. Bahkan sejak tahun 1992 pangan sektor industri manufaktur di dalam Produk Domestik Bruto (PDB) telah melampaui pangan sektor pertanian. Kecenderungan seperti ini diperkirakan terus berlanjut selama PJP II. Bertolak dari klasifikasi UNIDO,  peranan sector-sektor industry manufaktur di Indonesia yang kini sudah mencapai sekitar 22 % di dalam struktur PDB telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok Negara-negara yang sedang mengalami proses industrialisasi (industrializing countries). Sekalipun demikian, pangan sektor industri manufaktur Indonesia ini masih jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya.

Namun, menurut hasil yang diperoleh dari suatu studi dengan menggunakan pendekatan pola “normal” ala Chennery ternyata menunjukkan bahwa perkembangan industry manufaktur-manufaktur di Indonesia cenderung mengejar pola normalnya semenjak 1983 (Ikhsan, Basri, dan Saleh, 1994). Tetapi perlu dicatat bahwa dalam periode yang sama justru peranan industry berat menurun sedangkan industry ringan sebaliknya. Padahal, awal pematangan industrialisasi lazimnya ditandai oleh peningkatan peran industry berat dan penurunan peran industry ringan. Ditunjukkan pula, penurunan pangsa pertanian dalam PDB lebih cepat dari pola normalnya.

“Keganjilan” yang menyertai proses industrialisasi di Indonesia ialah relative sangat kecilnya indeks keunggulan komparatif untuk barang-barang ekspor kelompok unskilled labor intensive (ULI) pada tahapan awal industrialisasi (LPEM-FEUI, 1992); bahkan angka indeksnya lebih rendah dari kelompok barang technology intensive (TI) dan human capital intensive (HCI). Pengalaman Negara-negara lain pada umumnya menunjukkan bahwa pada tahapan awal industrialisasi, kelompok barang ULI-lah yang lebih menonjol1.

Kedua keganjilan ini mengindikasikan bahwa arah dan pola pertumbuhan sector industry manufaktur berlangsung dengan landasan yang kurang kokoh. Harus diakui bahwa sector industry manufaktur di Indonesia sudah terlalu lama menikmati proteksi, sehingga perkembangan industry manufaktur kurang sejalan dengan komposisi factor endowment yang dimiliki Indonesia. Hal ini pada gilirannya menyebabkan produk-produk manufaktur yang diproteksi Cuma bisa menjadi “jago kandang”, serta tidak mampu bersaing di pasar internasional. Salah satu buktinya adalah semakin merosotnya porsi produk yang diekspor oleh industry berukuran besar dan menengah terhadap produksi totalnya, yakni dari 28,8 persen tahun 1988 menjadi 22,7 persen saja pada tahun 1990 (Saleh, et al., 1992: 77).

Karena terus dimanjakan oleh pasar domestic, industry manufaktur Indonesia praktis tidak mengalami transformasi structural yang berarti-atau paling tidak proses transformasi yang berlangsung relative sangat lambat-sehingga semakin jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga di ASEAN dan NIEs (Newly Industrialializing Economies). Di tengah dinamika industrialisasi yang berlangsung di Asia Tenggara dan Asia Timur, Indonesia bersama-sama dengan Philipina hingga kini masih belum beranjak dari tahap paling awal dalam proses siklus produk.

Pembenahan di sector riil yang hingga saat ini masih saja tersendat-sendat oleh karena masih banyak interest groups dan kelompok-kelompok penekan yang bercokol-juga member dampak negative lain, yakni tidak memberikan inisiatif bagi para “industrialis” (dalam kenyataannya mereka tidak lebih dari pedagang yang lebih suka mengejar keuntungan-keuntungan jangka pendek dan serba instan) agar terus menerus berusaha untuk memperbarui produk-produknya lewat kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Masalahnya menjadi makin pelik mengingat kondisi infrastruktur yang jauh dari memadai2.
           

·                  TABEL 14.1 Tingkat Proteksi Efektif Beberapa Industri (Dalam Persentase)
1987
1990
1992
Tepung gandum
600
600
600
Mie instan
53
115
47
Gula
600
227
228
Kedelai olahan
-38
82
82
Perkakas pertanian
90
116
108
Baterai*
600
600
600
Industry local
76
-
52
Catatan* = Baterai dimasukkan sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, dengan pertimbangan bahwa akses kepada hiburan yang bias mereka jangkau berasal dari radio transistor yang sumber listriknya adalah baterai.


            Ironisnya, justru tidak sedikit industry yang berskala besar, bahkan yang berukuran raksasa, masih saja mengandalkan protrksi pemerintah sekedar untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Table 14.1 telah menyajikan dengan gamblang kenyataan ini. Masalah penting yang tak bisa diabaikan pula adalah, produk-produk industry besar yang diproteksi tersebut merupakan sumber bahan baku yang cukup penting bagi industry-industri kecil di hilirnya. Hal ini, tak pelak lagi, menciptakan dampak berantai yang kian mendesak dan semakin memperlemah daya saing industry-industri hilir di mana cukup banyak yang diusahakan oleh industry-industri berskala kecil (lihat misalnya, laporan World Bank, 1994).
           
            Peluang-peluang yang semakin terbuka setelah pemerintah menggulirkan berbagai macam paket kebijakan ternyata hanya bias dinikmati oleh industry-industri berskala besar, karena memang lebih mampu untuk itu.
           
            Pangsa perusahaan industry menengah (memakai 500-999 pekerja) praktis tidak berubah. Yang lebih tragis lagi adalah, secara riil tingkat pertumbuhan nilai tambah dari perusahaan-perusahaan industry kecil selama kurun waktu antara tahun 1985 hingga tahun 1990 mengalami kemunduran, yaitu dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar -2,0 persen (angkanya negative, atau menunjukkan kemunduran). Silakan anda simak data-data pada table 14.2 dan 14.3. Jenis atau kelompok industry kecil yang mengalami pertumbuhan negative tersebut adalah sector industry makanan, kertas, dan kimia

·         TABEL 14.2 Pertumbuhan Rata-rata Tahunan Atas Nilai Tambah Industri Manufaktur Skala Kecil Serta Menengah. Untuk periode 1985-1990 (Dalam persentase)
Kecil
menengah
Kecil & menengah
Makanan
-3,5
7,1
3,5
Produk kayu
3,5
17,0
13,4
Kertas
-1,2
9,7
5,9
Kimia
-9,2
6,6
1,9
Non logam
3,1
0,0
1,9
Logam dasar
24,6
45,9
41,3
Produk logam
1,7
3,0
2,7
Lainnya
6,3
18,8
15,4
Total
-2,0
7,1
4,5
Sumber: World Bank (1993).


·         TABEL 14.3 Distribusi Perusahaan-perusahaan Industri Menurut Ukurannya
1985
1990
Pertumbuhan rata-rata per tahun (%)
Jumlah perusahaan
20-99 pekerja
10.012
11.941
3,6
100-499 pekerja
2.193
3.460
9,6
500-999 pekerja
431
650
8,6
≥1000 pekerja
270
485
12,4
Nilai tambah (Rp miliar, 1990)
20-99 pekerja
2.047
1.854
-2,0
100-499 pekerja
4.350
6.118
7,1
500-999 pekerja
2.068
3.767
12,7
≥ 1000 pekerja
4.485
11.051
19,8
Jumlah tenaga kerja (000)
20-99 pekerja
378
458
3,9
100-499 pekerja
474
742
9,4
500-999 pekerja
305
460
8,6
≥ 1000 pekerja
526
1.003
13,8
Sumber: World Bank (1993)

.
            Kondisi-kondisi di atas cenderung membentuk struktur industry Indonesia menjadi dualistic dan kosong di tengah (hollow middle). Karakteristik demikian itu terlihat dari konsentrasi output dan pekerja di antara perusahaan-perusahaan yang berukuran besar dan perusahaan-perusahaan yang berskala mikro (microenterprises) dengan pekerja kurang dari 20 orang.

PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NASIONAL

Sector industry manufaktur di banyak Negara berkembang mengalami perkembangan sangat pesat dalam tiga decade terakhir. Asia Timur dan Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kasus istimewa. Lebih dari 25 tahun terakhir, dijuluki a miraculous economic karena kinerja ekonominya sangat hebat. Dari 1970 hinga 1995, industry manufaktur merupakan contributor utama. Untuk melihat sejauh mana perkembangan industry manufaktur di Indonesia selama ini, perlu dilihat perbandingan kinerjanya dengan sector yang sama di Negara-negara lain. Dalam kelompok ASEAN, misalnya kontribusi output dari sector industry manufaktur terhadap pembentukan PDB di Indonesia masih relative kecil, walaupun laju pertumbuhan output rata-ratanya termasuk tinggi di Negara-negara ASEAN lainnya. Struktur ini menandakan Indonesia belum merupakan Negara dengan tingkat industrialisasi yang tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand.
·         Pengembangan Industri Rakyat

Untuk memberdayakan ekonomi rakyat, pemerintah dapat mengarahkan langkah strategis di bidang perindustrian dengan mengembangkan industri-industri rakyat yang terkait dengan industry besar. Industri-industri kecil dan menengah yang kuat menjadi tulang punggung industry nasional. Dalam realisasinya, proses industrialilasinya harus mengarah ke daerah pedesaan dengan memanfaatkan potensi setempat yang umumnya agro industri. Di sinilah perlunya, penguasaan teknologi tepat guna.

Namun dalam proses ini harus dihindari penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industry berskala besar yang mengambil lahan-lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya alam dan mendatangkan tenaga kerja dari luar. Hal-hal demikian dapat menimbulkan luka dihati rakyat daerah yang bersangkutan.

Bangkitnya konsep ekonomi kerakyatan memang menuntut ketersediaan teknologi tepat guna yang sifatnya sederhana, handal, dan tidak capital intensif. Teknologi tepat guna ini diharapkan mampu memberdayakan banyak usaha/industri kecil dan menengah serta koperasi untuk ikut ambil bagian dalam proses ekonomi produktif. Sebagai perbandingan, di RRC dan India, teknologi tepat guna secara ekstensif digunakan untuk mengolah hasil-hasil pertanian. Di Indonesia juga membutuhkan pemanfaatan serupa. Produk-produk agrobisnis; pertanian dan perkebunan diyakini membutuhkan teknologi tepat guna agar dapat diproses oleh usaha/industry kecil dan menengah.

Ada dua manfaat sekaligus yang dapat dipetik dalam pengembangan teknologi tepat guna. Pertama, industri teknologi tepat guna tumbuh, masyarakat menguasai seni membuat produk teknologi tepat guna. Budaya teknologi, pada gilirannya, tumbuh dan melekat pada sebagian masyarakat. Ini penting guna menjadi pijakan saat bangsa tersebut ingin melangkah menjadi bangsa yang berteknologi canggih. Kedua, kecakapan membuat teknologi tepat guna menghasilkan penguasaan proses produksi selain produk yang unggul dikelasnya. Selain bisa memenuhi kebutuhan sendiri, produk ini laku sebagai komoditas ekspor.

Pengembangan teknologi tepat guna juga penting untuk meningkatkan produk usaha kecil dan menengah yang bergerak di bidang industri rumah tangga (home industry). Peningkatan produk juga akan menambah peningkatan keuntungan industri. Selanjutnya hal ini akan membawa berkah bagi peningkatatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.

Gambaran diatas menunjukkan betapa kebijakan teknologi seperti ini menghasilkan efek yang multiguna, yakni menyebarluaskan tradisi teknologi yang terjangkau dari segi biaya maupun kecakapan. Disamping itu, kebutuhan untuk menggerakkan ekonomi rakyat pun mendapatkan infrastruktur penting dalam hal ini teknologi yang kukuh.

Sector industry diyakini sebagai sector yang dapat memimpin sector-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki “dasar tukar” (terms of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sector lain. Hal ini disebabkan karena sector industry memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Pelaku bisnis (produsen, penyalur, pedagang, dan investor) lebih suka berkecimpung dalam bidang industry karena sector ini memberikan marjin keuntungan yang lebih menarik. Beusaha dalam bidang industry dan berniaga hasil-hasil industry juga lebih diminati karena proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia, tidak terlalu bergantung pada alam semisal musim atau keadaan cuaca.

            Industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea) untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Hasil  pembangunan paling nyata yang dapat dilihat di negara-negara maju dan kemudian banyak dijadikan cermin pola pembangunan oleh negara-negara berkembang adalah kadar keindustrian perekonomian, yang dianggap merupakan sumber kekayaan, kekuatan, dan keadaan seimbang negara-negara maju.  Atas dasar itu. Tidaklah mengherankan jika sebagian negara miskin beranggapan bahwa pengembangan sector industry merupakan obat yang sangat ampuh untuk memperbaiki keadaan mereka.

            Sedikit sekali negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan memperluas sector industry haruslah sejajar dengan pembangunan dan pengembangan sector-sektor lain, terutama sector pertanian. Sector pertanian yang lebih maju dibutuhkan oleh sector industry, baik sebagai penyedia masukan maupun sebagai pasar bagi produk-produk industry setiap peningkatan daya beli petani akan merupakan rangsangan bagi pembangunan sector industry pula. Jadi, kelancaran program industrialisasi sebetulnya bergantung pula pada perbaikan-perbaikan di sector-sektor lain, dan seberapa jauh perbaikan-perbaikan yang dilakukan mampu mengarahkan dan bertindak sebagai pendorong bagi kemunculan industry-industri baru. Dengan cara demikianlah kebijaksanaan yang ditempuh akan dapat mewujudkan mekanisme saling dukung antarsektor. Dalam dialetika-sektoral pertanian-industri, itu berarti bahwa harus tercipta suatu keadaan dengan mana surplus tenaga kerja di sector pertanian dapat tertarik ke sector industry agar sector pertanian menjadi lebih efisien, sehingga dapat menjadi pasar yang lebih efektif bagi sector industri



BAB III
PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kita sajikan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan  dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun, demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.

Kami ucapkan terimakasih.
  
KESIMPULAN

Bahwa perkembangan perekonomian Indonesia dalam sector pertanian maupun sector industri mengalami peningkatan maupun penurunan dalam tahun 1986-2011. Kedua sector tersebut saling berkaitan dalam perkembangan perekonomian Indonesia, karena  sector pertanian menunjang sector industry dan sebaliknya.
            Dalam pelaksanaannya, pengembangan sektor industri akan dilakukan secara sinergi dan terintegrasi dengan pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan, perdagangan, pendidikan, riset dan teknologi dan sebagainya. Konsep daya saing internasional merupakan kata kunci dalam pembangunan sektor industri, oleh karenanya selain sinergi sektoral maka sinergi dengan seluruh pelaku usaha serta seluruh pemerintah daerah merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, dukungan aspek kelembagaan yang mengatur tugas dan fungsi pembangunan dan dukungan terhadap sektor industri baik secara sektoral maupun antara pusat dan daerah secara nasional akan menentukan keberhasilan pembangunan sektor industri yang di cita-citakan


No comments:

Post a Comment