BAB I
PENDAHULUAN
Sasaran utama pembangunan jangka panjang negara ini adalah
pencapaian struktur ekonomi yang seimbang yaitu terdapatnya kemampuan dan
kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kemampuan dan kekuatan pertanian
yang tangguh. Hal ini berarti bahwa antara sektor pertanian (dan kehutanan) dan
sektor industri diperlukan adanya keterkaitan yang kuat baik keterkaitan
kedepan maupun keterkaitan ke belakang dalam mencapai tujuan masing-masing
sektor tersebut. Adanya keterkaitan ini terlihat dengan adanya perkembangan
pengolahan hasil pertanian dan industri agro (agroindustry). Agroindustri
adalah suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian)
untuk industri.
Transformasi struktural perekonomian Indonesia menuju ke
corak yang industrial tidak dengan sendirinya melenyapkan nuansa agraritasnya.
Berbagai teori pertumbuhan ekonomi klasik dan studi empiris Bank Dunia
menunjukkan, bahwa sukses pengembangan sektor industri di suatu negara selalu
diiringi dengan perbaikan produktivitas dan pertumbuhan berkelanjutan di sektor
pertanian. Selain menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk serta menyerap
tenaga kerja, sektor pertanian juga merupakan pemasok bahan baku bagi sektor
industri dan menjadi sumber penghasil devisa.
Di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan
prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Pada tahap pertama
pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri
penghasil sarana produksi pertanian. Pada tahap kedua, pembangunan
dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang sektor pertanian
(agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan
industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian diharapkan
dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang,
tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal.
BAB II
ISI
Pencapain struktur ekonomi yang seimbang dapat dilakukan
dengan menyeimbangkan 2 sektor yaitu :
1. Sektor
Pertanian
Jiwa (sumber hidup) Indonesia terletak pada lahan
pertaniannya. Rakyat Indonesia telah bercocok tanam diatasnya selama
berabad-abad. Masyarakat petani bukan hanya telah menyediakan makanan bagi
bangsa Indonesia dan produk pertanian untuk di ekspor, namun juga pemelihara
adat istiadat dan tradisi bangsa. Yang terpenting adalah, usaha pertanian di
Indonesia memasok beras untuk makanan rakyat. Beras adalah makanan pokok negara
sejak zaman dahulu kala. Dalam sejarah Indonesia, ada banyak periode dengan
hasil panen yang rendah. Pada masa itu, bencana kelaparan merebak dan
masyarakat secara keseluruhan sangat terpukul.
Selama bertahun-tahun, semua kebijakan pembangunan pertanian
Indonesia diimplementasikan untuk mencapai swasembada beras. Meski diperlukan
waktu 15 tahun untuk mencapainya, dalam prosesnya tim ekonomi belajar banyak
tentang fleksibilitas dalam penerapana ilmu ekonomi klasik. Kadang-kadang
diperlukan inovasi meski hanya untuk sementara waktu. Misalnya, pemerintah
menciptakan Bulog, sebuah lembanga yang dirancang untuk meredam gejolak pasokan
dan harga beras. Meski berlawanan dengan pasar bebas yang ortodoks, intervensi
Bulog membantu mengamankan pasokan pangan negara dan memelihara stabilitas
politik. Negara juga melaksanakan program investasi besar-besaran untuk
prasarana. Dengan melakukan itu, pasokan input pertanian bisa mencapai
desa-desa, dan produk pertanian dengan mudah mencapai pasar-pasarnya.
Kebijakan-kebijakan ini menolong pencapaian dua tujuan: pencukupan kebutuhan
pangan masyarakat dan pencegahan urbanisasi besar-besaran dengan menyediakan
lapangan kerja di desa-desa.
Dengan pendekatan pembangunan pertanian, Indonesia tidak hanya berkonsentrasi
pada satu segi saja. Pemerintah melancarkan serangkaian kebijakan yang saling
terkait termasuk inovasi teknologi, perbaikan prasarana, pembangunan sistem
logistic secara nasional, dan taktik ekonomi yang paling mendasar, monetisasi
sector perdesaan.
· Catatan
tentang geografi dan sejarah pertanian Indonesia
Indonesia membentang di garis khatulistiwa sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia. Dengan suhu rata-rata 26-27 derajat Celcius, iklim
Indonesia hangat namun tak terlalu menyengat karena ada angin laut yang sejuk.
Sebagian besar curah hujan jatuh pada musim penghujan dari oktober sampai april
terutama pada bulan desember dan januari. Musim kemarau berlangsung dari bulan
april sampai September. Indonesia berada di sepanjang “Cincin Api”,
daerah gunung berapi di samudera pasifik tempat bercokolnya sebagian besar
gunung berapi yang aktif di dunia. Aktivitas gunung berapi membawa kesuburan
tanah di banyak pulau di Indonesia, terutama pulau jawa dan bali.
Hal ini membuat petani didaerah ini bisa bercocok tanama
dengan hanya sedikitpupuk atau tanpa pupuk sama sekali. Kesuburan tanah dan
curah hujan tidaklah tersebar secara merata. Beberapa bagian dari negara ini,
terutama didaerah timur, relatif kering dan tanahnya gersang. Didaerah
penanaman padi (Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi selatan) para petani secara tradisional
memetik hasil panen padi 2 kali setahun. Dengan adanya kemajuan teknologi
pertanian, dibanyak daerah, jumlah panen bisa ditingkatkan menjadi 5 kali panen
dalam 2 tahun.
Tradisi bisa menjadi penolong dan penghambat bagi petani di
Indonesia. Banyak aspek pertanian Indonesia, terutama pertanian padi, yang
dilaksanakan sesuai dengan tradisi turun temurun. Hingga dewasa ini, pertanian
Indonesia hanya sedikit terintegrasi ke dalam perekonomian modern dengan
perdagangan bervolume besar, berteknologi maju, serta berciri kan produk dan
metode pemasaran yang beragam. Pertanian di Indonesia adalah urusan perdesaan,
hanya bersifat subsisten dan tidak banyak beranjak dari hal tersebut.
Tidak banyak orang berimigrasi ke kota-kota atau memilih karir didunia bisnis
atau sebagai pegawai negeri. Ciri perdesaan dari populasi Indonesia tetep
dominan. Populasi bertumbuh, namun terutama di pulau jawa hampir tak ada lahan
baru untuk pengembangan pertanian. Akibatnya, lahan yang ada terbagi-bagi
kepada ahli waris keluarga. Luas lahan per usaha tani di Indonesia menjadi
salah satu yang tersempit di dunia. Dalam paro ke 2 abad ini, ketika petak
lahan tidak bisa dibagi lebih lanjut, muncullah golongan baru pekerja pedesaan,
petani tanpa lahan.
Dua ilmuwan yang telah melakukan studi penting tentang kondisi pertanian di
Indonesia sebelum periode orba adalah : Jan Boeke, ekonom belanda, dan Clifford
Geertz, antropolog amerika. Boeke berusaha mencari penjelasan dari alasan
kegagalan kebijakan colonial belanda di Indonesia. Ia berpendapat bahwa ada
perbedaan mendasar antara tujuan aktivitas ekonomi dalam masyrakat barat dan
timur. Orang barat bertindak didorong keperluan ekonomi. Orang timur, seperti
Indonesia, bertindak terutama di dorong oleh keperluan social. Oleh karena
Orientasi social petani dan rakyat desa di Indonesia, usaha penerapan teknologi
dan institusi barat akan sia-sia dan tidak akan menghasilkan perubahan dalam
cara penstrukturan pertanian, sehingga tidak menghasilkan modal.
· Perkembangan
Sektor Pertanian
Pertanian dan perkebunan merupakan fundamentasi pokok
ekonomi bangsa. Pertanian harus dijadikan sector utama bagi pemberdayaan
ekonomi kerakyatan. Sektor pertanian yang menjadi andalan sebagian besar rakyat
tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Demikian juga dalam pencairan kredit
terdapat ketidakmerataan untuk sector pertanian.
Sektor
pertanian hingga kini masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian
besar penduduk. Program pembangunan sector pertanian meliputi program
peningkatan produksi di kelima subsektornya, serta peningkatan pendapatan
petani, perkebun, peternak dan nelayan. Program pembangunan tersebut ditunjang
dengan program pembangunan sarana dan prasarananya seperti pengadaan dan pelancaran
factor produksi, pengembangan jaringan irigasi dan jalan, kebijaksanaan tata
niaga dan harga, serta penelitian. Dalam era PJP I sector pertanian merupakan
prioritas pembangunan ekonomi. Pertumbuhannya rata-rata 3,6% per tahun.
Kemajuan paling menonjol sector ini selama PJP I adalah dalam bidang produksi
pangan, yakni keberhasilan mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Sebelumnya, bahan makanan pokok ini masih harus selalu diimpor. Bahkan pada
tahun-tahun 1970-an Indonesia merupakan Negara pengimpor beras terbesar di
dunia. Swasembada beras ini berdampak penting pada meningkatnya kualitas gizi,
pendapatan masyarakat, dan stabilitas ekonomi nasional.
Sampai dengan tahun 1990 sektor pertanian masih merupakan
penyumbang utama dalam membentuk produk domestic bruto. Namun sesudah itu
posisi tersebut diambil alih oleh sector industry pengolahan. Hal ini
sesungguhnya memprihatinkan, bukan karena sector pertanian tidak berkembang,
melainkan mengingat masih demikian besarnya proporsi tenaga kerja yang masih
bekerja di sector tersebut. Sampai dengan tahun 1992 saja tercatat lebih dari
sebagian tenaga kerja kita bekerja pada sector ini. Tambahan pula kualitas
sumber daya manusia yang bekerja di sector pertanian pada umumnya relative
rendah, sehingga produktivitasnya rendah. Pada gilirannya, pendapatan mereka
juga rendah. Dalam skala makro rendahnya produktivitas tenaga kerja suatu
sector dapat diukur dengan membandingkan proporsi sector itu dalam menyerap
tenaga kerja dan dalam menyumbang produksi atau pendapatan nasional. Pada tahun
1992, sector pertanian menyerap 53,69% tenaga kerja, sementara sumbangannya
dalam membentuk PDB menurut harga yang berlaku sebesar 19,52%. Hal itu berarti
setiap 1% tenaga kerja pertanian Indonesia hanya menyumbang sekitar 0,36% PDB.
Sebagai bandingan: sector pertanian di negara- negara maju yang tergabung dalam
G-7 hanya menyerap sekitar 2% tenaga kerja dan menyumbang 3% PDB. Dengan kata
lain, setiap 1% tenaga kerja pertanian mereka menyumbang 1,5% PDB, atau hampir
lima kali lipat produktivitas tenaga kerja pertanian kita.
Di antara lima subsector yang ada di dalam sector pertanian,
pemeran terbesar dalam membentuk nilai tambah adalah subsector tanaman pangan
(lihat table 12.2). subsector inilah yang menjadi sandaran nafkah utama
sebagian besar rakyat kita, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah
perdesaan. Subsector ini pula yang paling besar mendapatkan perhatian
pemerintah. Sayangnya, pertumbuhan sector ini tidak menggembirakan. Selama
Pelita I hingga Pelita III tumbuh selaju 4,0 persen rata-rata per tahun. Dalam
Pelita IV laju tumbuh rata-rata tersebut menurun menjadi 3,6%. Pertumbuhan
sector ini dalam Pelita V dapat dilihat pada table 12.3
Menurunnya peranan sector pertanian di satu sisi dan
meningkatnya peranan sector industry di sisi lain, menyiratkan telah terjadinya
perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia. Akan tetapi perubahan
struktural itu sebenarnya masih belum mantap karena baru merupakan
perubahan dalam struktur pendapatan, belum diiringi dengan perubahan dalam
struktur ketenagakerjaan. Akibatnya produktivitas antarsektor masih timpang.
Demikian pula halnya dengan pendapatn perkapita antarsektor. Perubahan
struktural (yang masih timpang) itu sendiri terjadi karena pembangunan ekonomi
kita selama ini terlalu terfokus pada industrialisasi. Padahal kerangka
teori klasik dan hasil-hasil empiris oleh Bank Dunia memunjukkan bahwa
keberhasilan industrialisasi selalu seiring dengan pertumbuhan yang
berkelanjutan (sustainable) dan perbaikan produktivitas di sector pertanian.
Jadi, apabila produktivitas sector pertanian tidak mengalami perbaikkan, maka
bukan mustahil keberhasilan industrialisasi dalam pembangunan kita selama ini akan
mengalami titik balik. Tanpa dukungan sector pertanian sebagai penyangga yang
tangguh kemajuan sector industry akan mudah tersendat.
· Tabel
12.2 Kontribusi Sektor Pertanian dalam membentuk PDB, 1988-1994 atas dasar
harga berlaku (Persen)
Sektor-Subsektor
|
1998
1989
1990
1991
1992 1993
1994
|
Sector pertanian
-tanaman pangan
- perkebunan
-kehutanan
-peternakan
Perikanan
Sector-sektor lain
|
24,12
23,43
21,55 19,66
19,52
17,88 17,44
14,86
14,65
13,25
11,50 11,33
9,73 9,21
3,97
3,71
3,41
3,34 3,36
2,73 2,69
1,02
0,98
0,95
0,89
0,84
1,90 1,97
2,49
2,28
2,23
2,25 2,32
1,88 1,91
1,78
1,81
1,71
1,68 1,67
1,63 1,67
75,88 76,45
80,34 80,48
82,12 82,56
|
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia, 1994, BPS.
· Tabel
12.3 Laju Tumbuh Sektor Pertanian dalam membentuk PDB, 1988-1994 atas
dasar harga konstan (Persen)
Sektor - Subsektor
|
1988
1989 1990
1991 1992 1993
1994
|
Sektor Pertanian
Tanaman pangan
-Perkebunan
-Kehutanan
-Peternakan
-Perikanan
Sektor-sektor lain
|
4, 90
3,32
2,00 1,60
1,42 0,32 2,89
4,50
3,97
0,52 -0,55
7,73 -1,18
-2,70 1,76
7,82
5,52
6,50 5,94
6,29 5,17
5,17 5,98
4,66
-3,87
2,97
0,02 -2,25
1,65 0,67 0,55
4,78
|
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia, 1994, BPS.
Perubahan struktur yang timpang tadi
mengandung arti bahwa pertumbuhan sector industry selama ini belum memadai bagi
penyerapan tenaga kerja. Sector pertanian masih kelebihaan populasi
(overpopulated). Sector industry masih belum menyerap kelebihan tenaga kerja di
sector pertanian. Banyak pekerja di sector ini menjadi penganggur tak kentara,
atau berurbanisasi ke kota mengadu nasib di sector informal. Jadi, meskipun
merupakan penyedia pangan bagi segenap rakyat, pemasok bahan baku industry, dan
bahkan sebagai pasar bagi hasil-hasil industry, sector pertanian ternyata belum
optimal terintegrasi di dalam derap langkah industrialisasi yang menjadi inti
strategi pembangunan.
Perkembangan sector pertanian itu sendiri, kasus Indonesia,
sangat menarik untuk dikaji. Pola perkembangannya berbeda dengan pengalaman
empiris dinegara – negara lain. Perkembangan sector pertanian di negara –
negara lain biasanya ditempuh melalui tiga kemungkinan pola atau lajur.
Pertama, jalur kapitalistik; yakni melalui pengembangan usahatani – usahatani
berskala besar dan melibatkan satuan – satuan yang berskala kecil. Perkembangan
sector pertanian di Amerika Utara dan Eropa Barat pada umumnya melalui pola
ini. Kedua, jalur sosialistik; yakni melalui pembentukan usahatani kolektif
berskala besar yang diprakarsai oleh Negara. Pola semacam ini berlangsung di
negara-negara Eropa Timur, sebelum runtuhnya rejim komunis. Ketiga, jalur
koperasi semikapitalistik; yakni melalui pembinaan usahatani – usahatani kecil
padat modal yang digalang dalam suatu koperasi nasional di bawah pengelolaan
Negara. Mirip dengan gagasan neopopulistik, pola ini diterapkan oleh Jepang dan
Taiwan. Kendati polanya berbeda, namun kesemuanya selalu diawali dan diiringi
dengan reformasi agraris dan penataan penguasaan tanah (land reform).
Perkembangan sector pertanian di Indonesia untuk subsector
tanaman pangan puncaknya ditandai dengan keberhasilan mencapai swasembada beras
ternyata tanpa didahului dengan reformasi agraris ataupun land reform. Revolusi
hijau berlangsung ditengah-tengah fragmentasi tanah dimana luas lahan usahatani
dari waktu ke waktu justru semakin menciut. Intensifikasi dapat diterapkan
(setidak-tidaknya berhasil dipaksa untuk diterapkan) di kalangan petani-petani
kecil yang mayoritas berlahan kurang dari setengah hektar (di Jawa: rata-rata
0,3 hektar).
2. Sektor
Industri
Keputusan Indonesia untuk membuat pertanian menjadi landasan
perencanaan pembangunan negara memang tidak sejalan dengan kebijaksanaan
konvensional. Di tengah penekanan pembangunan pertanian itu tentu saja
pemerintah sadar sepenuhnya bahwa Indonesia tidak bisa terus menerus
bergantung pada pertanian untuk menjadi negara modern. Pada akhir decade enam
puluhan, ketika pemerintah Orba meluncurkan rencana pembangunan ekonominya,
sebagian besar literature dalam bidang ekonomi mengidentikkan pembangunan
dengan industrilisasi. Hal ini terlihat lebih nyata lagi misalnya dalam
penanaman negara yang sudah mencapai standar hidup yang tinggi bagi penduduknya
sebagai negara industry. Meskipun Indonesia telah mengadopsi kebijakan yang
mendahulukan pertanian, tim ekonomi negara tetap punya komitmen besar terhadap
industrilisasi sebagai sebuah pilar bagi strategi pembangunan ekonomi negara.
Mereka juga sadar bahwa program yang keliru untuk mencapai industrilisasi
secara terburu-buru bisa menjadi boomerang yang menyebabkan disalokasi ekonomi,
investasi terbuang percuma, dan penghamburan kekayaan negara yang langka.
Bukti statistic darai zaman Sukarno terlalu sedikit dan masih
kacau sehingga sukar untuk memperkirakan keadaan industrilisasi Indonesia pada
masa tersebut. Namun demikian, bukti yang tersedia mengisyaratkan bahwa pada
masa permulaan Orba, Indonesia termasuk negara yang paling rendah tingkat
industrilisasinya diantara negara-negara sedang berkembang yang besar.
Memandang ke belakang, akhir decade Sembilan puluhan, saat
Indonesia mulai menjadi negara industry baru (NIC, Newly Industrialized
Country), orang bisa dengan mudah berpikir bahwa kita telah berhasil. Namun,
dalam prosesnya, kita kadang-kadang membuat kesalahan yang membawa kepada jalan
buntu. Ada banyak pengalaman berharga yang kita peroleh terutama pada
tahun-tahun awal. Pengalaman-pengalaman ini bisa disarikan sebagai berikut :
1. Proteksionisme (baik
untuk menopang industry yang baru berkembang maupun untuk keperluan pemerataan
bagi kelompok tertinggal) bisa berperan penting dalam pembangunan ekonomi,
hanya bila proteksi ini dilaksanakan dengan tujuan yang terdefinisi dengan
jelas dan masa penerapannya dibatasi.
2. Sukses kebijakan
industry tak lepas dari terpeliharanya nilai tukar mata uang yang realistis
3. Strategi ekonomi harus bersifat fleksibel dan
realistis, sehingga dapat diubah sesuai dengan perkembangan situasi, dan bila
perlu dihentikan kalau sudah kadaluwarsa.
· Lintasan
Sejrah Sektor Industri
Pada sekitar tahun 1920-an industry-industri modern di
Indonesia hampir semuanya dimiliki oleh orang asing meskipun jumlahnya relative
sedikit. Industry yang ada pada waktu itu hanya berupa industry-industri rumah
tangga seperti penggilingan padi, tekstil dan sebagainya yang tidak
terkoordinasi. Perusahaan besar yang modern hanya ada dua buah, itupun milik
asing, yaitu pasbrik rokok milik British American Tobacco dan perakitan
kendaraan bermotor General Motor Car Assembly. Depresi besar yang melanda
sekitar tahun 1930-an telah meruntuhkan perekonomian. Penerimaan ekspor turun
dari 1.448 juta Gulden (tahun 1929) menjadi 505 juta Gulden (tahun 1935)
sehingga mengakibatkan pengangguran. Situasi tersebut memaksa pemerintah
colonial mengubah sistem dan pola kebijaksanaan ekonomi dari menitikberatkan
pada sector perkebunan ke sector industry.
Pada masa perang Dunia II kondisi industrialisasi cukup baik. Namun keadaannya
berbalik semasa pendudukan jepang. Hal itu disebabkan adanya larangan impor
bahan mentah, diangkutnya barang-barang capital ke jepang dan pemaksaan tenaga
kerja sehingga investasi asing pada masa itu praktis nihil. 15 tahun kemudian
setelah merdeka, Indonesia menjadi pengimpor besar barang-barang capital dan
teknologi, serta mulai memprioritaskan pengembangan sector industry dan
menawarkan investasi asing. Berkat kebijaksanaan itu, penanam modal asing mulai
berdatangan meskipun masih dalam taraf coba-coba.
· Karakteristik
Industri Indonesia
Sector industry Indonesia dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu :
1. Industry rumah tangga
2. Industry kecil
3. Industry menengah
4. Industry besar
Dua hal yang menjadi corak dari sebagian besar industry Indonesia dalam periode
awal delapan puluhan adalah kecil dan berciri pedesaan. Menurut laporan Bank
Dunia 1979, industry manufaktur di Indonesia dikerjakan oleh 1,3 juta unit
usaha, dan 1,2 juta di antaranya adalah industry rumah tangga, serta 94%
berlokasi di pedesaan. Industry rumah tangga terutama terdiri dari kerajinan
tangan dan produk pangan, dan dikerjakan oleh wanita secara mandiri ataupun
dibantu anggota keluarga atau tetangganya. Pekerjaan ini tanpa upah dan
penghasilan penjualan barang-barang digunakan untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Tak ada kepastian mengenai harga atau jumlah barang yang dijual.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, pekerjaan ini merupakan sumber
penghasilan penting bagi masyarakat perdesan dan produksi yang dihasilkan cukup
dihargai oleh koncumen. Beberapa contoh produksi :
1. Industry rumah tangga
: barang-barang kerajinan tangan seperti keranjang anyaman tangan dan makanan
ringan seperti kue beras ketan yang dibungkus daun pisang atau daun kelapa
2. Industry kecil dan menengah : usaha
yang memperkerjakan 5 sampai 95 orang untuk memproduksi kain batik
3. Industry besar :
unilever, misalnya pabrik tekstil bermesin.
Produksi dari industry rumah tangga dan industry kecil, yang sebagian besar
berada di daerah pinggiran, bersifat musiman. Selama periode panen dan musim
tanam, pekerjaan pada industry-industri kecil dan rumah tangga praktis
terhenti. Ada juga kaitan lain dengan pertanian, misalnya, barang-barang yang
diproduksi oleh sector industry kecil dan rumah tangga dipasarkan terutama
didaerah perdesaan. Lebih jauh lagi, program-program pertanian, fasilitas
kredit, dan koperasi yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan
perekonomian pertanian juga berperan untuk memajukan sector industry kecil dan
rumah tangga.
KEGANJILAN INDUSTRI NASIONAL
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu aspek menonjol
dari hasil-hasil pembangunan ekonomi Indonesia dalam 25 tahun terakhir ini
adalah perubahan struktur perekonomian, yang ditandai oleh peningkatan pesat
peran sektor-sektor industry manufaktur di satu pihak dan penurunan relatif
tajam sektor pertanian di pihak lain. Bahkan sejak tahun 1992 pangan sektor
industri manufaktur di dalam Produk Domestik Bruto (PDB) telah melampaui pangan
sektor pertanian. Kecenderungan seperti ini diperkirakan terus berlanjut selama
PJP II. Bertolak dari klasifikasi UNIDO, peranan sector-sektor industry
manufaktur di Indonesia yang kini sudah mencapai sekitar 22 % di dalam struktur
PDB telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok Negara-negara yang sedang
mengalami proses industrialisasi (industrializing countries). Sekalipun
demikian, pangan sektor industri manufaktur Indonesia ini masih jauh tertinggal
dari negara-negara ASEAN lainnya.
Namun, menurut hasil yang diperoleh dari suatu studi dengan
menggunakan pendekatan pola “normal” ala Chennery ternyata menunjukkan bahwa
perkembangan industry manufaktur-manufaktur di Indonesia cenderung mengejar
pola normalnya semenjak 1983 (Ikhsan, Basri, dan Saleh, 1994). Tetapi perlu
dicatat bahwa dalam periode yang sama justru peranan industry berat menurun
sedangkan industry ringan sebaliknya. Padahal, awal pematangan industrialisasi
lazimnya ditandai oleh peningkatan peran industry berat dan penurunan peran
industry ringan. Ditunjukkan pula, penurunan pangsa pertanian dalam PDB lebih
cepat dari pola normalnya.
“Keganjilan” yang menyertai proses industrialisasi di
Indonesia ialah relative sangat kecilnya indeks keunggulan komparatif untuk
barang-barang ekspor kelompok unskilled labor intensive (ULI)
pada tahapan awal industrialisasi (LPEM-FEUI, 1992); bahkan angka indeksnya
lebih rendah dari kelompok barang technology intensive (TI)
dan human capital intensive (HCI). Pengalaman Negara-negara
lain pada umumnya menunjukkan bahwa pada tahapan awal industrialisasi, kelompok
barang ULI-lah yang lebih menonjol1.
Kedua keganjilan ini mengindikasikan bahwa arah dan pola
pertumbuhan sector industry manufaktur berlangsung dengan landasan yang kurang
kokoh. Harus diakui bahwa sector industry manufaktur di Indonesia sudah terlalu
lama menikmati proteksi, sehingga perkembangan industry manufaktur kurang
sejalan dengan komposisi factor endowment yang dimiliki
Indonesia. Hal ini pada gilirannya menyebabkan produk-produk manufaktur yang
diproteksi Cuma bisa menjadi “jago kandang”, serta tidak mampu bersaing di
pasar internasional. Salah satu buktinya adalah semakin merosotnya porsi produk
yang diekspor oleh industry berukuran besar dan menengah terhadap produksi
totalnya, yakni dari 28,8 persen tahun 1988 menjadi 22,7 persen saja pada tahun
1990 (Saleh, et al., 1992: 77).
Karena terus dimanjakan oleh pasar domestic, industry
manufaktur Indonesia praktis tidak mengalami transformasi structural yang
berarti-atau paling tidak proses transformasi yang berlangsung relative sangat
lambat-sehingga semakin jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan yang telah
dicapai oleh negara-negara tetangga di ASEAN dan NIEs (Newly
Industrialializing Economies). Di tengah dinamika industrialisasi yang
berlangsung di Asia Tenggara dan Asia Timur, Indonesia bersama-sama dengan
Philipina hingga kini masih belum beranjak dari tahap paling awal dalam proses
siklus produk.
Pembenahan di sector riil yang hingga saat ini masih saja
tersendat-sendat oleh karena masih banyak interest groups dan
kelompok-kelompok penekan yang bercokol-juga member dampak negative lain, yakni
tidak memberikan inisiatif bagi para “industrialis” (dalam kenyataannya mereka
tidak lebih dari pedagang yang lebih suka mengejar keuntungan-keuntungan jangka
pendek dan serba instan) agar terus menerus berusaha untuk memperbarui
produk-produknya lewat kegiatan penelitian dan pengembangan (research and
development) dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Masalahnya
menjadi makin pelik mengingat kondisi infrastruktur yang jauh dari memadai2.
· TABEL
14.1 Tingkat Proteksi Efektif Beberapa Industri (Dalam Persentase)
1987
|
1990
|
1992
|
|
Tepung gandum
|
600
|
600
|
600
|
Mie instan
|
53
|
115
|
47
|
Gula
|
600
|
227
|
228
|
Kedelai olahan
|
-38
|
82
|
82
|
Perkakas pertanian
|
90
|
116
|
108
|
Baterai*
|
600
|
600
|
600
|
Industry local
|
76
|
-
|
52
|
Catatan* = Baterai dimasukkan sebagai salah satu kebutuhan
pokok masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah, dengan pertimbangan bahwa
akses kepada hiburan yang bias mereka jangkau berasal dari radio transistor
yang sumber listriknya adalah baterai.
Ironisnya,
justru tidak sedikit industry yang berskala besar, bahkan yang berukuran
raksasa, masih saja mengandalkan protrksi pemerintah sekedar untuk menghasilkan
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat. Table 14.1 telah menyajikan dengan gamblang
kenyataan ini. Masalah penting yang tak bisa diabaikan pula adalah,
produk-produk industry besar yang diproteksi tersebut merupakan sumber bahan
baku yang cukup penting bagi industry-industri kecil di hilirnya. Hal ini, tak
pelak lagi, menciptakan dampak berantai yang kian mendesak dan semakin
memperlemah daya saing industry-industri hilir di mana cukup banyak yang
diusahakan oleh industry-industri berskala kecil (lihat misalnya, laporan World
Bank, 1994).
Peluang-peluang
yang semakin terbuka setelah pemerintah menggulirkan berbagai macam paket
kebijakan ternyata hanya bias dinikmati oleh industry-industri berskala besar,
karena memang lebih mampu untuk itu.
Pangsa
perusahaan industry menengah (memakai 500-999 pekerja) praktis tidak berubah.
Yang lebih tragis lagi adalah, secara riil tingkat pertumbuhan nilai
tambah dari perusahaan-perusahaan industry kecil selama kurun waktu antara
tahun 1985 hingga tahun 1990 mengalami kemunduran, yaitu dengan laju
pertumbuhan rata-rata sebesar -2,0 persen (angkanya negative, atau menunjukkan
kemunduran). Silakan anda simak data-data pada table 14.2 dan 14.3. Jenis atau
kelompok industry kecil yang mengalami pertumbuhan negative tersebut adalah
sector industry makanan, kertas, dan kimia
· TABEL
14.2 Pertumbuhan Rata-rata Tahunan Atas Nilai Tambah Industri
Manufaktur Skala Kecil Serta Menengah. Untuk periode 1985-1990 (Dalam
persentase)
Kecil
|
menengah
|
Kecil & menengah
|
|
Makanan
|
-3,5
|
7,1
|
3,5
|
Produk kayu
|
3,5
|
17,0
|
13,4
|
Kertas
|
-1,2
|
9,7
|
5,9
|
Kimia
|
-9,2
|
6,6
|
1,9
|
Non logam
|
3,1
|
0,0
|
1,9
|
Logam dasar
|
24,6
|
45,9
|
41,3
|
Produk logam
|
1,7
|
3,0
|
2,7
|
Lainnya
|
6,3
|
18,8
|
15,4
|
Total
|
-2,0
|
7,1
|
4,5
|
Sumber: World Bank (1993).
· TABEL
14.3 Distribusi Perusahaan-perusahaan Industri Menurut Ukurannya
1985
|
1990
|
Pertumbuhan rata-rata per tahun (%)
|
|
Jumlah perusahaan
|
|||
20-99 pekerja
|
10.012
|
11.941
|
3,6
|
100-499 pekerja
|
2.193
|
3.460
|
9,6
|
500-999 pekerja
|
431
|
650
|
8,6
|
≥1000 pekerja
|
270
|
485
|
12,4
|
Nilai tambah (Rp miliar, 1990)
|
|||
20-99 pekerja
|
2.047
|
1.854
|
-2,0
|
100-499 pekerja
|
4.350
|
6.118
|
7,1
|
500-999 pekerja
|
2.068
|
3.767
|
12,7
|
≥ 1000 pekerja
|
4.485
|
11.051
|
19,8
|
Jumlah tenaga kerja (000)
|
|||
20-99 pekerja
|
378
|
458
|
3,9
|
100-499 pekerja
|
474
|
742
|
9,4
|
500-999 pekerja
|
305
|
460
|
8,6
|
≥ 1000 pekerja
|
526
|
1.003
|
13,8
|
Sumber: World Bank (1993)
.
Kondisi-kondisi
di atas cenderung membentuk struktur industry Indonesia menjadi dualistic dan
kosong di tengah (hollow middle). Karakteristik demikian itu
terlihat dari konsentrasi output dan pekerja di antara perusahaan-perusahaan
yang berukuran besar dan perusahaan-perusahaan yang berskala mikro (microenterprises) dengan
pekerja kurang dari 20 orang.
PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NASIONAL
Sector industry manufaktur di banyak Negara berkembang mengalami perkembangan sangat pesat dalam tiga decade terakhir. Asia Timur dan Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kasus istimewa. Lebih dari 25 tahun terakhir, dijuluki a miraculous economic karena kinerja ekonominya sangat hebat. Dari 1970 hinga 1995, industry manufaktur merupakan contributor utama. Untuk melihat sejauh mana perkembangan industry manufaktur di Indonesia selama ini, perlu dilihat perbandingan kinerjanya dengan sector yang sama di Negara-negara lain. Dalam kelompok ASEAN, misalnya kontribusi output dari sector industry manufaktur terhadap pembentukan PDB di Indonesia masih relative kecil, walaupun laju pertumbuhan output rata-ratanya termasuk tinggi di Negara-negara ASEAN lainnya. Struktur ini menandakan Indonesia belum merupakan Negara dengan tingkat industrialisasi yang tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sector industry manufaktur di banyak Negara berkembang mengalami perkembangan sangat pesat dalam tiga decade terakhir. Asia Timur dan Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kasus istimewa. Lebih dari 25 tahun terakhir, dijuluki a miraculous economic karena kinerja ekonominya sangat hebat. Dari 1970 hinga 1995, industry manufaktur merupakan contributor utama. Untuk melihat sejauh mana perkembangan industry manufaktur di Indonesia selama ini, perlu dilihat perbandingan kinerjanya dengan sector yang sama di Negara-negara lain. Dalam kelompok ASEAN, misalnya kontribusi output dari sector industry manufaktur terhadap pembentukan PDB di Indonesia masih relative kecil, walaupun laju pertumbuhan output rata-ratanya termasuk tinggi di Negara-negara ASEAN lainnya. Struktur ini menandakan Indonesia belum merupakan Negara dengan tingkat industrialisasi yang tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand.
· Pengembangan
Industri Rakyat
Untuk memberdayakan ekonomi rakyat, pemerintah dapat
mengarahkan langkah strategis di bidang perindustrian dengan mengembangkan
industri-industri rakyat yang terkait dengan industry besar. Industri-industri
kecil dan menengah yang kuat menjadi tulang punggung industry nasional. Dalam realisasinya,
proses industrialilasinya harus mengarah ke daerah pedesaan dengan memanfaatkan
potensi setempat yang umumnya agro industri. Di sinilah perlunya, penguasaan
teknologi tepat guna.
Namun dalam proses ini harus dihindari penggusuran ekonomi
rakyat dengan perluasan industry berskala besar yang mengambil lahan-lahan
subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya alam dan mendatangkan tenaga
kerja dari luar. Hal-hal demikian dapat menimbulkan luka dihati rakyat daerah
yang bersangkutan.
Bangkitnya konsep ekonomi kerakyatan memang menuntut
ketersediaan teknologi tepat guna yang sifatnya sederhana, handal, dan tidak
capital intensif. Teknologi tepat guna ini diharapkan mampu memberdayakan
banyak usaha/industri kecil dan menengah serta koperasi untuk ikut ambil bagian
dalam proses ekonomi produktif. Sebagai perbandingan, di RRC dan India,
teknologi tepat guna secara ekstensif digunakan untuk mengolah hasil-hasil
pertanian. Di Indonesia juga membutuhkan pemanfaatan serupa. Produk-produk
agrobisnis; pertanian dan perkebunan diyakini membutuhkan teknologi tepat guna
agar dapat diproses oleh usaha/industry kecil dan menengah.
Ada dua manfaat sekaligus yang dapat dipetik dalam
pengembangan teknologi tepat guna. Pertama, industri teknologi tepat guna
tumbuh, masyarakat menguasai seni membuat produk teknologi tepat guna. Budaya
teknologi, pada gilirannya, tumbuh dan melekat pada sebagian masyarakat. Ini
penting guna menjadi pijakan saat bangsa tersebut ingin melangkah menjadi
bangsa yang berteknologi canggih. Kedua, kecakapan membuat teknologi tepat guna
menghasilkan penguasaan proses produksi selain produk yang unggul dikelasnya.
Selain bisa memenuhi kebutuhan sendiri, produk ini laku sebagai komoditas
ekspor.
Pengembangan teknologi tepat guna juga penting untuk
meningkatkan produk usaha kecil dan menengah yang bergerak di bidang industri
rumah tangga (home industry). Peningkatan produk juga akan menambah peningkatan
keuntungan industri. Selanjutnya hal ini akan membawa berkah bagi peningkatatan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
Gambaran diatas menunjukkan betapa kebijakan teknologi
seperti ini menghasilkan efek yang multiguna, yakni menyebarluaskan tradisi
teknologi yang terjangkau dari segi biaya maupun kecakapan. Disamping itu, kebutuhan
untuk menggerakkan ekonomi rakyat pun mendapatkan infrastruktur penting dalam
hal ini teknologi yang kukuh.
Sector industry diyakini sebagai sector yang dapat memimpin
sector-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk
industrial selalu memiliki “dasar tukar” (terms of trade) yang tinggi atau
lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar
dibandingkan produk-produk sector lain. Hal ini disebabkan karena sector
industry memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan
manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Pelaku bisnis (produsen,
penyalur, pedagang, dan investor) lebih suka berkecimpung dalam bidang industry
karena sector ini memberikan marjin keuntungan yang lebih menarik. Beusaha
dalam bidang industry dan berniaga hasil-hasil industry juga lebih diminati
karena proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh
manusia, tidak terlalu bergantung pada alam semisal musim atau keadaan cuaca.
Industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea) untuk mengatasi
masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Hasil
pembangunan paling nyata yang dapat dilihat di negara-negara maju dan kemudian
banyak dijadikan cermin pola pembangunan oleh negara-negara berkembang adalah
kadar keindustrian perekonomian, yang dianggap merupakan sumber kekayaan, kekuatan,
dan keadaan seimbang negara-negara maju. Atas dasar itu. Tidaklah
mengherankan jika sebagian negara miskin beranggapan bahwa pengembangan sector
industry merupakan obat yang sangat ampuh untuk memperbaiki keadaan mereka.
Sedikit sekali negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk
memajukan dan memperluas sector industry haruslah sejajar dengan pembangunan
dan pengembangan sector-sektor lain, terutama sector pertanian. Sector
pertanian yang lebih maju dibutuhkan oleh sector industry, baik sebagai
penyedia masukan maupun sebagai pasar bagi produk-produk industry setiap
peningkatan daya beli petani akan merupakan rangsangan bagi pembangunan sector
industry pula. Jadi, kelancaran program industrialisasi sebetulnya bergantung
pula pada perbaikan-perbaikan di sector-sektor lain, dan seberapa jauh
perbaikan-perbaikan yang dilakukan mampu mengarahkan dan bertindak sebagai
pendorong bagi kemunculan industry-industri baru. Dengan cara demikianlah
kebijaksanaan yang ditempuh akan dapat mewujudkan mekanisme saling dukung
antarsektor. Dalam dialetika-sektoral pertanian-industri, itu berarti bahwa
harus tercipta suatu keadaan dengan mana surplus tenaga kerja di sector
pertanian dapat tertarik ke sector industry agar sector pertanian menjadi lebih
efisien, sehingga dapat menjadi pasar yang lebih efektif bagi sector industri
BAB III
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kita sajikan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membangun, demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.
Kami ucapkan terimakasih.
KESIMPULAN
Bahwa perkembangan perekonomian Indonesia dalam sector
pertanian maupun sector industri mengalami peningkatan maupun penurunan dalam
tahun 1986-2011. Kedua sector tersebut saling berkaitan dalam perkembangan
perekonomian Indonesia, karena sector pertanian menunjang sector industry
dan sebaliknya.
Dalam
pelaksanaannya, pengembangan sektor industri akan dilakukan secara sinergi dan
terintegrasi dengan pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti pertanian,
pertambangan, kehutanan, kelautan, perdagangan, pendidikan, riset dan teknologi
dan sebagainya. Konsep daya saing internasional merupakan kata kunci dalam
pembangunan sektor industri, oleh karenanya selain sinergi sektoral maka
sinergi dengan seluruh pelaku usaha serta seluruh pemerintah daerah merupakan
hal yang sangat penting. Untuk itu, dukungan aspek kelembagaan yang mengatur
tugas dan fungsi pembangunan dan dukungan terhadap sektor industri baik secara
sektoral maupun antara pusat dan daerah secara nasional akan menentukan
keberhasilan pembangunan sektor industri yang di cita-citakan
No comments:
Post a Comment